SIMFONI KOPI
Oleh : Dwi Endah
Langkah demi
langkah ku nikmati dengan memandang bangunan kuno yang mungkin bisa dibilang
kuno namun memiliki daya tarik tersendiri. Aku hanya mahasiswa jurusan seni
rupa yang sedang menempuh awal semester 5 yang membutuhkan hiburan di rutinitas
yang melelahkan. Selalu dan selalu saat aku menyusuri jalan ini aku terdiam ,
langkah kakiku berhenti mataku tak bisa berkedip melewati sebuah kafe kopi yang
begitu mewah dengan kaca beningnya membuat pejalan kaki terpana untuk mampir
mencicipi beberapa cangkir kopi. Selama ini aku hanya bisa memandang kafe kopi
ini dari luar. Tak beberapa aku lama aku putuskan untuk mampir ke kafe kopi
itu, pertama kali aku masuk aku tertegun akan tatanan kopi yang disusun
berjajar didalam sejenis toples-toples besar dengan beberapa mesin kopi dan
ditata rapi dan pelayannya yang cekatan.
Akupun
memilih tempat disebelah kanan pintu masuk dengan duduk menghadap kaca agar aku
bisa melihat keluar memandangi suasana luar kafe yang begitu ramai dengan
banyak pejalan kaki. Tak beberapa saat datanglah pelayan menawarkan berbagai
jenis kopi yang mereka tawarkan.
"Pesan kopi espresso satu saja", jawabku
pada pelayan
"Baik, silahkan ditunggu kakak. Ini notanya bisa
dibayarkan dikasir disebelah sana kakak", sambil tersenyum sembari menulis
pesanan setelahnya menunjuk ke arah kasir.
"Iya , terimakasih", jawabku
Saat ku
pandang kearah luar kulihat sosok pria berkulit putih dengan kacamata hitamnya
keluar dari mobil hitamnya, pria itu masuk dan duduk membelakangi kursi yang
aku duduki. Pelayanpun menghampirinya,
"Kakak sudah lama tidak kesini, mau pesan apa
kakak?" Kata pelayan sambil tersenyum
"Ah kata siapa baru dua tahun engga kesini kok
sudah dibilang lama(tertawa). Biasa , espresso aja", kata pria itu
Setelah
menunggu sekitar 10 menit kopi pesananku sudah ada dihadapanku , betapa bahagia
hatiku akhirnya akupun bisa merasakan kopi ditempat yang selama ini aku
idam-idamkan. Langsung saja aku teguk espresso yang aku inginkan ini, setelah
sekian banyak minum kopi instan.
"Hek...(tersedak). Pait banget", kataku
sambil membuat ekspresi aneh merasakan espresso yang aku minum.
Pria
dibelakangku mendengar, dan langsung menengok kebelakang. Tak kuduga saat itu
juga aku menengok kebelakang , alangkah kaget diriku melihat pria itu berada
dekat dengan wajahku. Karena reflek aku kaget dan membuat kursi bergeser dan
membuat badanku tidak seimbang.
"Kamu kenapa ?" tanya pria itu tertawa
karena aku terjatuh dari kursi yang aku duduki.
"Ahhh...(menundukan kepala karena malu). Kamu
siapa mengagetkan aku!" bentakku pada pria itu.
"Udah sini bangun , enggak malu apa diliatin
orang-orang?" dia menahan tertawa sambil memegang lenganku dan membantuku
bangun dari kursi.
"Aaa.... (mendorong pria itu) Kamu mau
ngapain!" bentakku dan pria itupun malah jatuh disebelahku dan semua orang
di kafe itu menertawakan kami berdua.
-~-
"Win...(berteriak). Ada kabar menghebohkan",
kata Fifi sambil berlari menghampiriku
"Apa Fi ? Kamu jangan heboh deh", jawabku
"Itu Win , katanya ada mahasiswa baru masuk
jurusan kita dia tajir loh ganteng terus keren lagi" kata Fifi
terengah-engah karena lari tadi.
Aku hanya diam, dan melanjutkan jalanku karena 10
menit lagi perkuliahan akan dimulai.
-~-
"Willy Ardana Satriya", Pak Suryono
mempresensi mahasiswanya.
Nama itu
sepertinya asing bagiku, karena aku cukup mengenal baik banyak teman dijurusan
seni rupa ini. Seingatku juga tidak ada yang namanya Willi, akupun penasaran
dan menoleh kebelakang mencari siapa pemilik nama itu
"Hadir pak", jawab pemilik nama itu.
"Hah..!!!", Kaget melihat pemilik nama itu
yang ternyata pria yang ada di kafe kopi saat aku memesan espresso
Aku hanya
diam dan teringat kejadian di kafe kopi itu yang sangat memalukan dan sialnya
aku bertemu dengan pria itu di kelas yang sama. Pikiranku buyar dan tidak fokus
mengikuti mata kuliah, yang aku pikirkan hanya kejadian memalukan di kafe itu.
"Winda, sekarang jawab pertanyaan saya
tadi!", kata Pak Suryono yang tiba-tiba sudah berada disebelahku.
"Hah... (kaget) Bapak ngomong apa?", jawabku
pada Pak Suryono yang membuat Fifi mencubit tanganku karena kaget dengan
jawabanku.
"Heh Winda kamu itu mahasiswa jangan ngelamum
terus dikelas ini waktunya belajar. Kalo ngelamun mikirin pacar bukan disini
tempatnya" bentak Pak Suryono karena tadi beliau melihat aku melamun saat
mengikuti pelajarannya
"Jomblo Pak , Winda Jomblo", teriak
teman-teman sekelas sambil menertawakan aku yang dibentak Pak Suryono.
-~-
"Win Fi, makan yuk laper", ajak Rolan
menarik tanganku dan Fifi menuju ke kantin.
Sampai dikantin aku kaget melihat pria yang ketemui di
Kafe kopi itu, dan betapa kagetnya aku Rolan malah nemarik aku dan Fifi menuju
meja yang diduduki pria itu.
"Heh lan, ngapain disini. Disana juga masih
banyak kok tempat kosong!", teriakku pada Rolan
"Udah disini aja sambil kenalan sama anak baru ni
loh", kata Rolan sambil tersenyum
"Hai namaku Fifi", Fifi menyalami pria yang
hanya tersenyum
"Hai aku kalo aku Rolan , kamu Willi kan anak
baru dari Jogja itu" sapa Rolaan sambil basa basi dengan pria itu.
"Iya aku Willi , salam kenal semuanya",
tersenyum
"Loh kamu engga kenalan Win?", tanya Rolan
padaku
"Kamu Winda kan yang dulu di kafe itu", kata
pria itu , akupun langsung melotot melihatinya
"Oh kalian udah kenal sebelumnya. Ya udah yuk
pesen makan. Kamu duduk sebelah Willi aja Win", Rolan mendorongku agar
duduk disebelah Willi
-~-
Malam ini
aku, Fifi da Rolan ngumpul dibasecamp kita di kosnya Rolan menghabiskan malam
minggu dengan ngopi dan curhat.
"Win kamu tau malem ini kita ada tamu
istimewa", kata Rolan sambil memberikan kopi buatannya kepadaku.
"Ngomong apaan sih kamu, paling ya kamu aku sama
Fifi doang si temen-temen kos kamu pada sibuk keluar malem mingguan. Eh
omong-omong kok ini engga biasanya kopi buatanmu enak.", jawabku pada
Rolan
"Oh ini kopi dari tamu istimewa kita haha",
Rolan tertawa
Aku
penasaran siapakah tami istimewa itu sebenarnya. Waktu menunjukan pukul 9.00
dari dalam kos Rolan aku mendengar suara mesin mobil dan kemudian mati dan
Rolan pun keluar , mungkin itulah tamu istimewa Rolan. Alangkah kagetnya dirimu
ternyata tamunya adalah Willi yang datang dengan bag kecil berwarna
coklat, Rolan menarik Willy untuk segera
bergabung dengan kami.
"Ini aku bawakan kopi lagi (tersenyum). Kamu suka
kopikan Win", Willi melihat kearahku dan aku hanya diam tertunduk malu
mengingatkan kejadian di kafe kopi yang lalu.
-~-
2 bulan
kemudian kami berempat telah menjadi teman akrab , entah kenapa ada sesuatu
yang membuatku bisa menerima Willi sebagai teman. Willy sering mengajak kami
bertiga jalan-jalan mencicipi kopi disekitar sini. Yah, Willi sudah begitu
dekat dengan kopi semua jenis kopipun telah dia pahami. Mungkin dulu pertemuan
di kafe kopi merupakan kejadian yang memalukkan karena mungkin baru pertama
kali aku meminum espresso sehingga sedikit agak norak. Willi sering juga
mengajak aku keluar berdua untuk mengenalkanku berbagai jenis kopi , mulai dari
saat itulah kami berdua mulai dekat.
Hari demi
hari berlalu , Willi sering membawakanku kopi, dan kadang diajari cara membuat
berbagai jenis minuman kopi, dan dari situlah aku menjadi sangat menyukai kopi.
Kadang aku juga sering marah-marah karena hampir sering sekali Willi datang
membawakan aku kopi.
Sampai pada
suatu hari diwaktu libur semester Willi mengajakku jalan-jalan ke sebuah
perkebunan kopi. Disana melihat bagaimana proses dari sebuah kopi yang masih
mentah diolah menjadi biji kopi. Dia juga memperlihatkan ku bagaimana cara
membuat kopi yang baik. Dan benar saja kopi buatan Willi begitu enak aromanya
juga khas sekali , sampai dia berkata sesuatu yang mungkin lama untuk aku
mengerti.
"Win, kumohon jangan lupakan (tersenyum)",
aku hanya diam melihat kearah Willi yang menggenggam tanganku.
-~-
Satu
semesterpun berlalu aku aku, Willi, Fifi dan Rolan berteman dengan baik.
Pagi itu adalah kuliah perdana memasuki semester 6.
Kulaihpun dimulai namun aku tidak menemui Willi dikelas. Aku bertanya pada
Rolan dan Fifi tentang Willy namun mereka hanya diam.
"Kau akan segera dihubungi Willi win", kata
Rolan tersenyum dan Fifi merangkulku.
"Kenapa dengan Willi, kalian kenapa", kataku
curiga dengan perkataan Rolan dan Fifi.
Tak beberapa
saat handphoneku berbunyi dan benar
"Willi kamu dimana! Kenapa tidak berangkat
kuliah!", bentakku ditelpon
"Selalu saja kau marah-marah Win(tertawa kecil),
maafkan aku aku kembali ke Korea untuk melanjutkan pekerjaanku dan kuliahku
disana. Maaf aku telah berbohong kalo aku adalah pindahan dari Jogja, maaf aku
membuatmu karena aku selalu menjengkelkan bagimu dan maaf aku tidak bisa
berpamitan denganmu" kata Willy
"Apa maksudmu Wil !" bentakku kepada Willi
merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan Willi
"Aku mohon jangan membenciku dan kumohon jangan
lupakan aku. Aku akan selalu didekatmu, meski kau tak mengetahui kehadiranku.
Win, ku mohon tunggu aku, aku akan kembali. Ya mungkin hanya ini yang bisa aku
katakan padamu. Semua yang akan kau benci akan kau sukai, yakinlah semua yang
kau benci akan kau sukai", penjelasan Willi ditelpon
Serasa dunia
menbelah jadi dua atau tsunami telah melanda, pikiranku buyar aku menangis dan
air mata yang mampu mengungkapkan isi hati ini. Fifi hanya mendekapku seakan
merasakan apa yang aku rasakan.
Rolan akhirnya bercerita , dan sekian lama baru aku
ketahui kalau Rolan dan Willi sebenarnya mereka telah berteman sejak kecil
hanya saat menginjak kuliah mereka tidak pernah bertemu namun masih sering
berkomunikasi semua itu dikarenakan Willy pindah ke Korea untuk menggantikan
bisnis kopi ayahnya yang meninggal karena kecelakaan mobil.
"Hidup Willi sangat terkekang dengan banyak
peraturan yang membuat dia harus bisa menggantikan posisi ayahnya yang telah
meninggal oleh karna itu dia begitu sibuk. Willy memberanikan diri untuk
melarikan diri dari kesibukanya dengan bisnis kopi almarhum ayahnya dengan
kembali untuk bertemu Kamu Win , aku dan Fifi ya itu dilakukanya satu semester
ini. Dah itulah batas waktu yang diberikan untuk Willi bisa menikmati masa
mudanya dengan teman-teman dan setelahnya kembali ke Korea untuk meneruskan
bisnis kopinya", jelas Roland dengan raut muka yang sedih
Mungkin aku
bisa saja membenci Willi , namun aku sepertinya tidak bisa membecinya dengan
semua kenangan-kenangan yang dia berikan kepada aku, Rolan dan Fifi tentang
betapa bahagianya memiliki teman hanya dengan secangkir kopi. Begitu juga
dengan apa yang aku rasakan dengan Willi dan semuanya diawali dengan sebuah kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar